Perkenalanku dengan Mindfulness

dwi wulandari
5 min readJun 24, 2021

--

Tahun 2020 menjadi babak baru dalam kehidupan keluarga kami. Suami yang hampir 9 tahun lamanya bekerja dan domisili di Shanghai, China akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai developer di sebuah perusahaan game di Singapura. Saya merasa sangat gembira namun juga merasa sedih, saya gembira karena akhirnya kami akan berdomisili dekat dengan Indonesia. Kesedihan saya rasakan tatkala saya harus meninggalkan pekerjaan yang saya geluti selama hampir 4 tahun di Shanghai. Saya juga merasa berat meninggalkan teman-teman saya yang begitu baik selama saya membutuhkan bantuan di Shanghai.

Karena waktu pindah yang begitu singkat, saya dan suami memutuskan untuk meninggalkan sebagian besar barang-barang kami di Shanghai. Buku-buku koleksi kami selama 9 tahun kami tinggalkan pada para mahasiswa/i Indonesia yang berada di Shanghai, beserta barang-barang lainnya yang tidak kami butuhkan lagi di Singapura, seperti perlengkapan musim dingin, alat-alat elektronik, alat dapur. Semua kami tinggalkan. Kami menghubungi PPI Shanghai dan beberapa teman yang mungkin membutuhkan barang-barang kami. Kami hanya membawa barang-barang yang benar-benar kami butuhkan untuk memulai hidup baru lagi di Singapura. Mungkin inilah perpisahan saya dengan barang-barang pribadi saya yang dirasakan paling berat. Bukannya saya tidak merasa ikhlas, hanya saja seperti ada sesuatu yang dipotong secara paksa dari tubuh saya. Sayapun terus mengingatkan diri untuk berpikir, itu semua hanyalah benda mati. Semuanya bisa dibeli lagi nanti.

Tanggal 5 November 2019, Saya dan suami resmi berada di Singapura. Sebuah negara kecil yang teramat kaya dan indah, semua serba rapi dan teratur. Saat itu mulai terdengar kabar mengenai penyebaran virus di Wuhan, China. Keluarga kami merasa bersyukur karena kami sudah “keluar” dari China. Saya pun teramat girang karena Singapura hanya berjarak 1,5 jam dari Surabaya kalau naik pesawat, segala rencana pun sudah saya buat, dari mulai mengunjungi anak lebih sering sampai berbisnis jasa titip belanja Singapura-Indonesia. Saya pun berkabar dengan teman-teman saya yang sering mengadakan perjalanan ke Singapura. Dalam waktu singkat, saya pun mendapatkan pekerjaan membantu operasional travel teman saya di Singapura. Hari-hari saya mulai disibukkan oleh pekerjaan antar-jemput tamu di bandara, membantu mereka check-in hotel dan mencarikan mobil sewaan untuk moda transportasi tamu. Di sela-sela pekerjaan saya juga menyempatkan bertemu dengan teman-teman dari Indonesia yang kebetulan tinggal ataupun traveling di Singapura.

Bulan Maret 2020, pemerintah di berbagai negara di dunia memulai aksi lockdown, tidak terkecuali pemerintah Singapura. Traveling dan tourism mandeg total, saya pun tidak memiliki pekerjaan lagi. Suami mulai WFH, saya merasakan kuatir, kalut dan hampa. Di saat itulah saya menemukan buku Haemin Sunim, yang pertama saya baca judulnya Love For Imperfect Things. Saya tadinya merasa tidak semangat melakukan hal apapun akhirnya mulai membuka diri untuk belajar dan mencoba hal yang baru.

“Thinking too much can make it difficult to act. If you just do it, then it is done. But if you give in to your thinking, your mind will get in the way, telling you “you can’t,” “you shouldn’t,” “you don’t want to.” In that case, get up early the next morning and just do the thing you’ve been putting off. If you give yourself time to start thinking about it, inaction will take hold again.”

― Haemin Sunim, Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection

“If our breathing is calm, our mind will be calm, and if our breathing is agitated, our mind will be agitated. The same goes the other way around: Frantic minds make for frantic breathing, and peaceful minds produce peaceful breathing. In addition, breathing always happens in the here and now and thus anchors our mind in the present. As we breathe more calmly and deeply, the mind follows suit, savoring deep and peaceful silence.”

― Haemin Sunim, Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection

“The doors to the enlightened mind are reached through the following: love, silence, acceptance, the present moment, the feeling of aliveness, open awareness, the mind with no thought, complete surrender.”

― Haemin Sunim, Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection

Kalimat-kalimat diatas hanyalah sepenggal dari banyak hal baik yang saya pelajari dari buku Haemin Sunim. Dari situlah saya mulai mempelajari tentang mindfulness, meditasi dan berada di ruang sadar saya. Saya pun memulai memberanikan diri untuk mengajar privat Mandarin dan English secara online. Saya menemukan banyak public figure yang membantu proses belajar saya, seperti contohnya Jonathan End dan Fellexandro Ruby. Mereka menyuarakan tentang growth mindset dan belajar, berkarya dan berbagi. Selain itu saya bertemu dengan banyak sekali teman-teman yang usianya jauh lebih muda ketimbang saya namun anehnya kami mempunyai keresahan-keresahan yang sama. Saya bertemu dengan hal-hal yang teramat baru bagi saya, seperti contohnya Stoic, saya pun belajar melalui podcast teman saya Sitta Puteri yang judulnya Stoicast ID.

Mindfulness yang saya praktekkan tidak banyak dan masih belum bisa konsisten, diantaranya adalah:

  1. Meditasi 5 menit setiap hari.
  2. Menyadari sepenuhnya kegiatan apapun yang kita kerjakan, misalnya saat makan saya akan fokus dengan makanan di depan saya, tidak sambil nonton televisi atau melakukan kegiatan lainnya.

3. Berdoa secara rutin dan lebih khusyuk, membaca renungan harian.

4. Memulai kebiasaan baru yaitu olahraga rutin, membaca buku, belajar menggambar.

5. Meningkatkan self awareness dengan cara banyak bersyukur, mengenali gelombang emosi yang dirasakan tiap hari, fokus dengan masa kini dan menerima yang lalu biarlah berlalu.

Sudah setahun lebih pandemi terjadi, sampai detik ini saya masih belum tahu bagaimanakah nasib saya di masa yang akan datang. Kekuatiran juga masih kadang menyapa tanpa permisi. Terkadang saya merasa hari saya baik-baik saja, namun ada juga masa-masa dimana saya begitu sedih, insecure, kuatir akan masa depan dan tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dalam hidup saya. Saya belajar memulai dan menutup hari dengan bersyukur atas apapun situasi dan kondisi yang sedang saya hadapi. Saya belajar mencari solusi untuk semua kegelisahan atas masa depan yang tak pasti. Bekerja dan belajar lebih efektif dan efisien dari hari-hari sebelumnya. Itu lebih baik daripada saya merutuki diri. Bukan hanya saya saja yang sedang mengejar mimpi, di luar sana yang berjuang lebih keras pun banyak. Saya beruntung menerima banyak support dan doa dari teman-teman yang bahkan belum pernah saya temui secara langsung. Kita semua sedang berusaha untuk melakukan satu saja hal baik untuk hari ini. Setiap hari. Demi hari esok yang lebih baik lagi.

Originally published at https://lagingulik.substack.com on June 24, 2021.

--

--